Sabtu, 15 Januari 2011

SUMBER-SUMBER HUKUM TATA NEGARA

SUMBER-SUMBER HUKUM TATA NEGARA

Masalah sumber hukum merupakan suatu hal yang perlu untuk selalu dipahami, dianalisis dan ditimbulkan problema-problema dan pemecahannya, sehingga dapat diharapkan akan ada keserasian dengan perkembangan hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Tidak pernah ada suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya dalam konsiderans peraturan perundang-undangan tersebut tidak menyebutkan dasar hukum atau sumber hukumnya. Demikian pula akan merupakan “cacat hukum” manakala suatu keputusan hakim atau suatu keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara tanpa dasar hukum atau sumber hukum yang jelas.

Bagi Hukum Tata Negara lazimnya sumber hukum sebagai sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang menetukan materi (isi) hukum. Menurut Yoeniarto sumber hukum yang menentukan materi (isi) hukum adalah sumber hukum filosofis, sumber hukum historis, sumber hukum sosiologistermasuk juga pandangan-pandangan ilmu pengtahuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sumber hukum filosofis adalah pandangan tentang kebenaran, pandangan tentang rasa keadilan, pandangan rasa keyakinan akan hukumnya dan pandangan-pandangan lain yang tumbuh baik dikalangan anggota masyarakat maupun para penyelenggara negara.

Sumber hukum historis adalah materi (isi) atau substansi ketentuan-ketentuan hukum adalah peraturan perundang-undangan yang pernah atau masih berlaku. Sumber hukum sosiologis adalah faktor-faktor yang terdapat dalam masyarakat yang akan dijadikan batas berlakunya hukum positif. Pandangan-pandangan ilmu pengetahuan hukum adalah karya para ahli hukum yang telah lama mengadakan penyelidikan, pemikiran dan penulisan tentang hukum dan pengembangannya dalam lapangan hukum masing-masing. Dalam kepustakaan Belanda sumber hukum dalam arti materiil dikenal dengan nama “welbron”, sumber hukum dalam arti materiil disebut juga sumber tertib hukum.   

Sumber hukm dalam arti formal adalh sumber hukum yang dikenal dari bentuknya. Karena bentuknya itu menyebakan hukum berlaku umum diketahuai dan ditaati. Disinilah suatu kaidah memperoleh kualifikasi sebagai kaidah hukum dan oleh yang berwenang ia merupakan petunjuk hidup yang harus diberi perlindungan, untuk menetapkan kaidah hukum yang demikian diperlukan suatu badan hukum yang berwenang secara bertingkat. Dalam perpustakaan belanda sendiri hukum formal dikenal dengan nama “kenbron”. Wujud dari sumber hukum formal dapat tertulis juga dapat tidak tertulis.

Sumber dalam arti materiil Hukum Tata Negara Indonesia adalah (sumber dari segala sumber hukum) pancasila. Sumber hukum dalam arti formal Hukum Tata Negara Indonesia adalah :

1.           Hukum perundang-undangan:
a.     Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945;
b.     Ketetapan MPR;
c.      Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
d.     Peraturan Pemerintah;
e.      Keputusan Presiden;
f.       Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti :
-         Peraturan Menteri
-          Instruksi Menteri
-         dan lain-lain
2.           Kebiasaan ketatanegaraan (konvensi);
3.           Traktat(perjanjian);

Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia tersebut diatur dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. kebiasaan ketatanegaraan merupakan hukum dasr yang tidak tertulis, diatur dalam penjelasan Umum undang-undang Dasar 1945. traktat (perjanjian) sebagai sumber hukum dalam arti formal diatur dalam pasal 11 Undang-undang Dasar 1945.

Sejak ditetapkan Memorandum DPR-GR mengenai sumber Tertip Hukum Indonesi dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia menjadi ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, isi Memorandum DPR-GR menjadi isi(materi) Ketetapan MPRS yang secara kontitusional mengikat baik ke dalam maupun keluar. Lebih-lebih setelah dikukuhkan kembali dengan ketetapan MPR No. V/MPR/1973. sumbangan pemikiran DPR-GR kepada MPRS ini meliputi tiga pokok persoalan :

I.             Sumber Tertip Hukum Republik Indonesia
II.          Tata Urusan Peraturan Perundangan Republik Indonesia dan Bagan Susunan Kekuasaan di Dalam Negara Republik Indonesia;
III.       Skema Susunan Kekuasaan di Dalam Negara Rebuplik Indonesia;
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum (sumber tertip hukum) Republik Indonesia. Dimana sumber dari segala sumber hukum adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari rakyat negara Indonesia, ialah cita-cita mengenanai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita-cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara, cita-cita moral mengenal kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan sebagai pengejawantahan dari budi nurani manusia.

Adapun perwujudan sumber dari segala sumber hukum Republik Indonesia adalah :

1.     Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945;
2.     Dekrit Presiden 5 Juli 1959;
3.     Undang-Undang Dasar 1945;
4.     Surat Perintah 11 Maret 1966;

Proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah detik penjebolan tertip hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional, tertip hukum indonesia. Dekrit presiden 5 Juli 1959 merupakan sumber bagi berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. meskipun Dekrit merupakan suatu tindakan darurat namun kekuatan hukumnya bersumber pada dukungan seluruh rakyat Indonesia, terbukti dari persetujuan DPR hasil pemilihan Umum (1955) secara aklamasi pada 22 Juli 1959.

Surat perintah 11 maret 1966 merupakan dasar dan sumber hukum pagi Letnan Jendral Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan guna mengamankan pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen yang berdasar atas sistem konsitusi tidak atas dasar kekuasaan belaka. surat perintah 11 maret 1966 ditingkatkan menjadi ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang mempunyai daya laku sampai terbentuknya MPR, dengan ini daya lakunya mengikat baik kedalam maupun keluar sebagaimana lazimnya ketetapan MPRS.

Undang-undang Dasr 1945 adalah bentuk peraturan perundang-undangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan dalam negara. Sesuai prinsip negara hukum, maka setiap peraturan perundangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatannya. ketentuan-ketentuan yang tertinggi tingkatnya yang pelaksanaanya dilakukan dengan ketetapan MPR, Undang-undang atau Keputusan Presiden. Ketetapan MPR yang memuat garis besar bidang legislatif dilaksanakan dengan undang-undang. Ketetapan MPS yang memuat garis besar eksekutif dilaksanakan dengan keputusan Presiden.

Dalam kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan-peraturan sebagai pengganti undang-undang. Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang harus mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan berikutnya. Jika tidak ada persetuan maka peraturan pengganti undang-undang tersebut harus dicabut. Keputusan Presiden yang bersifat khusus ( einmahlig) adalah untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang dasar , ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan pemerintah.

Mengenai skema susunan kekuasaan didalam negeri republik Indonesia dikukuhkan dalam ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, ini diperlukan guna mewujudkan kepastian dan keserasian hukum serta kesatuan tafsiran dan pengertian mengenal pancasila  dan pelaksanaan UUD 45, perlu adanya perincian dan penegasan mengenai sumber tertip hukum dan tata urutan peraturan perundangan rebuplik Indonesia. Hingga sekarang ketetapan MPRS No. XX/MPRS/ 1966 masih berlaku dan perlu disempurnakan.

Kebiasaan ketatanegaraan (konvensi) ialah perbuatan dalam kehidupan dalam ketatanegaraan yang dilakukan berulangkali, sehingga diterima dan ditaati dalam prkatek ketatanegaraan, walaupun bukan hukum. Membahas konvensi tidak dapat lepas dari sistem ketatanegaraan Ingris, The British Constitution ialah kumpulan peraturan mengenai ketatanegaraan Inggris, baik yang legal maupun non legal. Di Indonesia Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang Dasar itu juga berlaku hukum dasar tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terprlihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.

Dengan demikian Hukum Tata Negara Indonesia seperti juga Hukum Tata Negara di Inggris, Amerika Serikat, Belanda dan Hukum Tata Negara lain yang mengenal Konvensi ketatanegaraan sebagai sumber Hukum Tata Negara. Adanya konvensi ketatanegaraan dalam Hukum Tata Negara Indonesia adalah karena kebutuhan akan perlunya ketentuan-ketentuan untuk melengkapi sistem Hukum Dasar (undang-undang dasar 1945).

Traktat (perjanjian) merupakan salah satu sumber hukum formil Hukum Tata Negara Indonesia, sebab ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian dapat mengikat pihak-pihak terkait. Salh satu cintoh mengenai batas wilayah negara dari dua atau beberapa negara yang berbatasan wilayahnya. Perjajian Internasional dapat dilakukan antar negara, antar negara dengan organisasi internasional, antar organisasi internasioanal dan antara Tahta suci dengan negara.

Perjanjian Internasional sendiri dibedakan dalam dua golongan. Pertama, Perjanjian Internasional yang diadakan menurut tiga tahap pembentukan yakni perundingan (negotiation), penandatanganan (signature) dan retifikasi (retification). Kedua, Perjanjian Internasional yang yang hanya melewati dua tahap yakni perundingan (negotiation) dan penandatanganan (signature).

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, untuk perjanjian golongan pertama (yang memerlukan ratifikasi dari DPR) dapat digunakan kata perjanjian internasional atau kraktat, sedang untuk perjanjian golongan dua (yang tidak memerlukan ratifikasi dari DPR) dapat digunakan kata persetujuan. Dalam pada itu perjanjian internasional dapat diklarifikasikan kedalam perjanjian bilateral dan perjanjian multibilateral.

  Pemerintahan pada tahun 1960 itu berpendapatbahwa perjanjian-perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan sebelum disahkan oleh presiden, ialah perjanjian  yang lazimnya berbentuk treaty yang mengandung materi :

a.     Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian persekutuan (aliansi), perjanjian-perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal batas;

b.     Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri dapat terjadi bahwa ikatan-ikatan yang demikian dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian kerjasama ekonomi dan teknis atau pinjaman uang;


c.      Soal-soal yang menurut UUD atau menurut sistem perundang-undangan kita harus diatur dengan undang-undang seperti soal-soal kewarganegaraan dan sola-soal kehakiman.
Dua hal yang dari pendapat joeniarto. Pertama, keputusan hakim (yurisprudensi) merupakan keputusan untuk menyelesaikan perselisihan hukum dalam perkara perdata, perkara pidana dan sengketa administrasi negara. Tidak disebutkan perselisihan hukum dalam sengketa Hukum Tata Negara, karena Hukum Tata Negara Indonesia tidak mengenal Hukum Acara Tata Negara (HTN Formal); Kedua, dalam Hukum Tata Negara Indonesia, Mahkamah Agung hanya memiliki  hak menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, dan dalam praktek belum pernah mengenal sumber hukum yang berasal dari yurispudensi.

Melalui Sidang Tahunan MPR RI, 7-18 Agustus 2000, MPR telah mengeluarkan ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, dan mencabut Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan RI dan ketetapan MPR RI No.IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam Pasal 3 ayat (l) ketetapan MPR RI No. V/MPR/1973 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Melalui Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, peraturan daerah telah secara resmi menjadi sumber hukum dan masuk kedalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Ketetapan MPR tersebut menegaskan bahwa peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus daerah yang bersangkutan.

Meskipun Ketetapan MPR tersebut dimaksudkan untuk menyempurnakan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, perumusan bentuk dan tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut masih kurang sempurna dan mengandung beberapa kelemahan. Salah satu contohnya Ketetapan MPR telah menggeser kedudukan Perpu yang tadinya berada setingkat lebih rendah dari undang-undang? Hakikatnya lahirnya Perpu adalah untuk antisipasi keadaan yang “genting dan memaksa”.  Jadi, ada unsur paksaan keadaan terhadap yang harus segera diantisipasi, tetapi masih dalam koridor hukum, yakni melalui Perpu dan Perpu tersebut harus segera dibahas dipersidangan berikutnya dan disetujui atau tidak menjadi undang-undang. Jika tidak disetujui dalam persidangan DPR Perpu harus dicabut


Pada hakikatnya Perpu sama dan sederajat dengan undang-undang, hanya sarat pembentukannya yang berbeda. Oleh karena itu, penegasan dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa materi muatan Perpu sama dengan materi muatan undang-undang adalah tepat. Sebagai konsekuensi telah bergesernya kekuasaaan membentruk undang-undang dari Presiden ke DPR berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) baru juncto Pasal 5 ayat (1) baru UUD 1945, kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif makin dipertegas.

Oleh karena itu, semua peraturan yang dikeluarkan oleh presiden haruslah mengacu kepada undang-undang dan UUD dan tidak boleh lagi bersifat mandiri seperti keputusan presiden di masa lalu.